Langit Sahabat
Senyum
itu bagai bunga yang selalu menghiasi taman Sekolah. Bunga yang melambai
bersama dedaunan. Pemilik senyum itu, dia selalu menyapa ku dari kejauhan,
menyapa lewat senyumannya yang bagai bunga mekar. Hari itu aku meniti setiap senti
taman sekolah, ingin kusentuh bunga itu, tapi tiba-tiba tanganku layu. Hingga
angin menghempas ku pergi. Dia seorang gadis yang cantik, pintar dan baik hati.
Ingin sekali aku menyapanya, tapi aku hanya bisa melihat senyumnya dari kejauhan.
Aku tak pernah bicara dengannya, sepatah kata pun. Aku rasa gadis seperti dia
tak memiliki waktu berbincang dengan gadis seperti ku. Setiap kali aku ingin
memanggil namanya, tiba-tiba ada teman-teman yang mendahului ku mendekatinya.
Membuat ku enggan mendekat. Aku lebih memilih membisu di dalam keramaian. Aku
hanya menjadi yang ke-dua dalam kehidupannya. Setiap kali pembagian raport, aku
selalu berdiri di sampingnya sebagai rangking ke-dua. Dia selalu bertahan
menjadi rangking satu. Aku pun hanya berani duduk di belakangnya ketika belajar
di kelas. Itu berlangsung selama dua tahun, hingga sekarang kami berada di
kelas sembilan SMP. Aku tak iri padanya, tapi aku sungguh mengaguminya. Dia
sangat pandai bergaul, berkali-kali ia memandangku, tapi tak sebuah sapaan pun
yang terucap.
Sebagian kecil murid di Sekolah ini
mengayuh sepeda untuk sampai ke sini, sebagian besar lainnya menggunakan
angkutan umum. Panas siang hari ini begitu menusuk kulit, aku berlari menuju
tempat parkir sepeda. Ku lihat satu baris sepeda berjejer rapi di sana. Aku
harus mengambil mukena yang tertinggal di keranjang sepedaku. Aku bergegas
menarik mukena berwarna merah jambu yang dibalut dengan tas kecil. Satu
hentakan sontak membuat sepedaku terjatuh dan membuat satu barisan sepeda jatuh
secara berurutan. Aku mengusap dahiku yang tiba-tiba berkeringat dan segera
meraih satu demi satu sepeda agar dapat kembali berdiri sempurna. Mataku sibuk berlarian
dan berhenti di suatu pemandangan, sepasang kaki dengan rok panjang berwarna
biru khas murid SMP dan kerudung putihnya yang menjulang sampai ke dada. “Boleh
aku bantu ?” suara itu terdengar sangat jelas. Lisa, gadis pemilik senyum yang
bagai bunga mekar itu menyapa ku. “Hm, iya silahkan” aku menjawab dengan kikuk.
Aku memperhatikan setiap jengkal gerakannya. Kenapa aku merasa ada yang berbeda
dalam dirinya, yang tidak dimiliki gadis lain yang pernah aku temui.
Setelah sepeda-sepeda itu berbaris
rapi, kami berjalan perlahan menuju ruang kelas, Ini pertama kalinya kami
berjalan beriringan. “Tia, setiap pagi kamu sekolah dengan sepeda merah jambu
itu ?” Lisa bertanya pada ku. “Iya, Lis” jawabku. Ketika diantar papa ke
sekolah, aku sering melihat kamu mengendarai sepeda itu” cerita Lisa. “Aku
ingin juga ke Sekolah dengan bersepeda, tapi papa tidak pernah memberi izin.
Kata papa rumah kita terlalu jauh untuk dilalui dengan sepeda. Aku sering
bertanya pada papa, kenapa rumah kita tidak pindah saja di dekat Sekolah, jadi
aku bisa menjangkau Sekolah dengan sepeda. Tapi papa hanya membalas dengan
tawanya yang khas”, Lisa bercerita sambil tersenyum manis pada ku.
Lisa mencoba menerka-nerka, “Tia, mukena
kamu juga berwarna merah jambu, seperti sepeda milikmu. Pasti kamu sangat
menyukai warna itu?”. Kemudian aku menjawab dengan tertawa kecil “Sebenarnya
tidak juga, sepeda dan mukena ini pilihan ibu, sepertinya ibuku yang sangat
menyukai si merah jambu.” Aku melihat pipi Lisa sedikit memerah, dan dia pun
tertawa. “Wah, ternyata tebakanku kurang tepat”, jawab Lisa yang mulai merasa
akrab. Tanpa terasa kami pun sampai di depan ruang kelas. “Hari ini ada kajian
di mushola sekolah, temanya tentang pergaulan bebas remaja” Lisa mengajakku
dengan antusias. “Kamu bisa ikut atau tidak, Tia?” tanya Lisa pada ku. “Oh,
kajian jam dua siang itu ya, emmm, ya insya Allah aku bisa ikut” aku menjawab
sambil tersenyum dan berkata dalam hati, ini adalah kesempatanku untuk bisa
lebih dekat dengan Lisa yang sangat aku kagumi. Lisa pun membalas
tersenyum padaku.
Hampir jam dua siang, matahari mulai
enggan menyengat kulit. Aku menunggu Lisa sambil duduk di bawah pohon rindang
taman Sekolah, yang di sisinya ada air mancur yang disertai kolam ikan badut.
Suara gemericik air diiringi angin sepoy-sepoy yang membelai kerudungku dan
ikan badut yang menari-nari, menemaniku menunggu kedatangan pemilik senyum yang
bagai bunga merekah. Sosok yang ku tunggu mulai muncul dari kejauhan, berjalan
dengan langkah berirama, dengan senyum yang sedikit malu-malu. Lisa kemudian
sampai di hadapan ku dan berkata “ayo Tia, kita langsung ke mushola,
teman-teman sudah berkumpul di sana.” Aku menyambut ajakan Lisa dengan bangkit
dari tempat dudukku dan kemudian berjalan perlahan mengikuti langkahnya.
Sepatu-sepatu mulai mengisi ruang di
kotak-kotak rak sepatu dekat mushola. Tidak begitu ramai di dalam mushola,
hanya ada kira-kira lima belas orang perempuan. Aku dan Lisa menemukan tempat
duduk yang nyaman dan Lisa mulai bertanya “Tadi kamu sholat zuhur di sini kan?”
kemudian aku menjawab, “iya, tapi setelah itu aku langsung beranjak ke taman.”
Lisa mengerutkan alis dan berkata “oh begitu, tapi tadi kita tidak bertemu,
mungkin karena aku tidak melihat sekitar”
kemudian Lisa tertawa. Aku selalu melihatnya walau mungkin dia tak
melihat ku, kemudian aku tersenyum. “kenapa?” tanya Lisa. “tidak apa-apa.”
Jawabku sambil tersenyum.
Kajian berlangsung dengan peserta yang
aktif mengajukan pertanyaan kepada pemateri yang juga adalah teman sebaya aku
dan Lisa. Ternyata Lisa hanya sebentar duduk disamping ku, ternyata dia menjadi
pembawa acara dalam kajian ini. Lisa tidak seperti kebanyakan teman sebayaku.
Lisa terlihat sederhana dalam berpakaian, walau
banyak teman sebaya kami yang menjadi korban mode yang selalu
berubah-ubah setiap tahun. Tutur katanya juga sopan, tidak seperti teman sebaya
kami yang kebanyakan menggunakan bahasa gaul, bahkan kadang-kadang mereka tak
mengerti makna kata yang mereka ucapkan. Hanya meniru trend. Kajian diakhiri dengan do’a bersama. Lisa begitu akrab
menyapa peserta yang hadir, bersalam-salaman, saling memeluk dan menepuk
punggung. Keakraban seperti apa yang aku lihat ini? Belum pernah aku
mengalaminya.
Bersama dengan peserta yang lain aku dan
Lisa menuju ke luar mushola dan mengambil sepatu lalu memakainya. Setelah
sepatu kami terpasang rapi, kami berjalan sambil berbincang. “Tia, bagaimana
menurut kamu kajian hari ini?” tanya Lisa. “Menarik, aku baru mengetahui kalau
pacaran itu dilarang agama, untung saja aku tak pernah menerima cinta para
lelaki yang menyatakan perasaannya pada ku” jawabku sambil tertawa. “kamu bisa
saja”, balas Lisa sambil menepuk bahuku. “Kamu pulang naik apa Lisa?” tanyaku.
“aku naik angkot, mungkin bersama mereka, sendiri pun tidak apa lah, aku kan
sudah tidak mengompol” jawab Lisa sambil tersenyum. Aku bingung, “Apa
hubungannya pulang sendiri dan mengompol?” tanyaku. Lagi-lagi Lisa tertawa
menanggapi ku sehingga membuat ku tersenyum.
Hari kemarin diwarnai tawa bersama Lisa.
Pagi ini aku mengayuh sepeda dengan suasana berbeda. Udara terasa sejuk, semua
yang ku lihat bagai bunga-bunga bermekaran. Aku datang dengan warna baru, warna
pemilik senyum yang bagai bunga mekar itu. Hari ini pelajaran olah raga, aku
dan teman-teman bersiap beranjak ke lapangan Sekolah untuk bermain bola voli.
Aku satu kelompok dengan Lisa, kami terlihat kompak dalam permainan ini dan
berkali-kali mencetak angka. Tapi tiba-tiba, salah seorang teman dari kelompok
kami hidungnya terkena lemparan bola voli, darah segar keluar dari hidungnya.
Lisa sigap menolongnya dan membawanya ke Unit Kesehatan Sekolah. Aku pun
bergegas ikut mengantarnya.
Siang ini Lisa terlihat berbeda setelah
kejadian tadi, dia terlihat mencemaskan teman kami itu. Ketika pulang pun dia
tergesa-gesa, berusaha membantu teman kami itu pulang ke rumah. Bahkan dia tak
sempat menyapaku. Hari ini terasa sepi, bunga tak semerbak mewangi seperti akan
layu. Aku baru saja menikmati satu hari tertawa bersama Lisa, apakah secepat
ini berakhir? Apakah aku akan kembali tenggelam dalam kesunyian?
Hari kemarin berlalu, tak ada senyum
itu. Hari ini aku kembali meniti setiap senti taman Sekolah, dan melihat bunga
mekar itu dari kejauhan. Lisa kembali bersama teman-temannya dan tersisa aku
yang kembali membisu dalam keramaian. “Tia” suara itu memecah keheninganku,
Lisa menghampiriku. “Tia, aku dan yang lain sedang membahas mengenai tema untuk
kajian di mushola minggu depan” Lisa langsung menarikku untuk bergabung bersama
mereka. Pembahasan tema begitu menarik, aku mulai mengenal diri mereka
satu-persatu. Aku pun ikut mengemukakan pendapatku. Pembahasan tema diselingi
tawa, ternyata mereka begitu ramah. Tak kusangka hari ini aku bersama bunga
mekar dan dedaunan yang selama ini kulihat dari kejauhan. Begitu indah.
Hari-hari berlalu, aku semakin dekat
dengan Lisa. Membonceng Lisa dengan sepedaku sampai ke jalan angkutan umum.
Berbagi cerita, makan bersama, bahkan aku pernah berkunjung ke rumah Lisa.
Keluarganya pun begitu baik padaku. Aku semakin menyukai Lisa, aku rasa dia
adalah sahabat yang baik dan aku rasa dia merasakan hal yang sama. Dua tahun
kesunyianku dengan Lisa, kini berubah menjadi layaknya saudara yang akrab. Kami
pun kini saling mengetahui bagaimana perasaan kami, ketika dulu belum saling
menyapa. Ternyata Lisa sejak dulu ingin mengenalku lebih dekat. Lisa mengira
aku yang sengaja menghindar darinya. Ya, aku memang menghindar kala itu, karena
aku tidak terlalu percaya diri untuk menghampiri Lisa yang selalu dihampiri
banyak teman.
Lisa sering mengajakku bergabung dengan
teman-temannya, hingga sekarang aku menjadi anggota kajian rutin di mushola
Sekolah kami. Aku mulai merasakan kedekatan yang dulu belum pernah kurasakan.
Aku bersalaman dan berpelukan sambil menepuk punggung. Bersama mengajak
teman-teman untuk ikut kajian di mushola dengan anggota dan pengurus kajian
rutin. Ya, aku merasakannya. Merasakan indahnya kebersamaan.
Semakin lama aku mengenal Lisa, aku
semakin menyayanginya. Dulu aku terlalu mengagumi dan ingin bersamanya.
Sehingga aku menatap tak suka jika Lisa bersama teman-temannya. Padahal sikapku
yang seperti itu justru yang menjauhkanku dari Lisa. Aku telah menyiakan dua
tahun dengan kesunyian. Tapi aku tak menyesal. Aku telah belajar banyak hal.
Sahabat itu bagai langit yang menaungi banyak makhluk. Langit tidak pernah
menutup ruang untuk menaungi yang lain, meski itu sesuatu yang baru sekali pun.
Seperti Lisa yang meski memiliki banyak teman, dia tak pernah menutup ruang
untuk menerimaku sebagai sahabatnya.
Putri Blume
Tidak ada komentar:
Posting Komentar