Selasa, 09 September 2014

Langit Sahabat (cerpen)



Langit Sahabat

         Senyum itu bagai bunga yang selalu menghiasi taman Sekolah. Bunga yang melambai bersama dedaunan.  Pemilik senyum itu, dia selalu menyapa ku dari kejauhan, menyapa lewat senyumannya yang bagai bunga mekar. Hari itu aku meniti setiap senti taman sekolah, ingin kusentuh bunga itu, tapi tiba-tiba tanganku layu. Hingga angin menghempas ku pergi. Dia seorang gadis yang cantik, pintar dan baik hati. Ingin sekali aku menyapanya, tapi aku hanya bisa melihat senyumnya dari kejauhan. Aku tak pernah bicara dengannya, sepatah kata pun. Aku rasa gadis seperti dia tak memiliki waktu berbincang dengan gadis seperti ku. Setiap kali aku ingin memanggil namanya, tiba-tiba ada teman-teman yang mendahului ku mendekatinya. Membuat ku enggan mendekat. Aku lebih memilih membisu di dalam keramaian. Aku hanya menjadi yang ke-dua dalam kehidupannya. Setiap kali pembagian raport, aku selalu berdiri di sampingnya sebagai rangking ke-dua. Dia selalu bertahan menjadi rangking satu. Aku pun hanya berani duduk di belakangnya ketika belajar di kelas. Itu berlangsung selama dua tahun, hingga sekarang kami berada di kelas sembilan SMP. Aku tak iri padanya, tapi aku sungguh mengaguminya. Dia sangat pandai bergaul, berkali-kali ia memandangku, tapi tak sebuah sapaan pun yang terucap.
         Sebagian kecil murid di Sekolah ini mengayuh sepeda untuk sampai ke sini, sebagian besar lainnya menggunakan angkutan umum. Panas siang hari ini begitu menusuk kulit, aku berlari menuju tempat parkir sepeda. Ku lihat satu baris sepeda berjejer rapi di sana. Aku harus mengambil mukena yang tertinggal di keranjang sepedaku. Aku bergegas menarik mukena berwarna merah jambu yang dibalut dengan tas kecil. Satu hentakan sontak membuat sepedaku terjatuh dan membuat satu barisan sepeda jatuh secara berurutan. Aku mengusap dahiku yang tiba-tiba berkeringat dan segera meraih satu demi satu sepeda agar dapat kembali berdiri sempurna. Mataku sibuk berlarian dan berhenti di suatu pemandangan, sepasang kaki dengan rok panjang berwarna biru khas murid SMP dan kerudung putihnya yang menjulang sampai ke dada. “Boleh aku bantu ?” suara itu terdengar sangat jelas. Lisa, gadis pemilik senyum yang bagai bunga mekar itu menyapa ku. “Hm, iya silahkan” aku menjawab dengan kikuk. Aku memperhatikan setiap jengkal gerakannya. Kenapa aku merasa ada yang berbeda dalam dirinya, yang tidak dimiliki gadis lain yang pernah aku temui.
         Setelah sepeda-sepeda itu berbaris rapi, kami berjalan perlahan menuju ruang kelas, Ini pertama kalinya kami berjalan beriringan. “Tia, setiap pagi kamu sekolah dengan sepeda merah jambu itu ?” Lisa bertanya pada ku. “Iya, Lis” jawabku. Ketika diantar papa ke sekolah, aku sering melihat kamu mengendarai sepeda itu” cerita Lisa. “Aku ingin juga ke Sekolah dengan bersepeda, tapi papa tidak pernah memberi izin. Kata papa rumah kita terlalu jauh untuk dilalui dengan sepeda. Aku sering bertanya pada papa, kenapa rumah kita tidak pindah saja di dekat Sekolah, jadi aku bisa menjangkau Sekolah dengan sepeda. Tapi papa hanya membalas dengan tawanya yang khas”, Lisa bercerita sambil tersenyum manis pada ku.
Lisa mencoba menerka-nerka, “Tia, mukena kamu juga berwarna merah jambu, seperti sepeda milikmu. Pasti kamu sangat menyukai warna itu?”. Kemudian aku menjawab dengan tertawa kecil “Sebenarnya tidak juga, sepeda dan mukena ini pilihan ibu, sepertinya ibuku yang sangat menyukai si merah jambu.” Aku melihat pipi Lisa sedikit memerah, dan dia pun tertawa. “Wah, ternyata tebakanku kurang tepat”, jawab Lisa yang mulai merasa akrab. Tanpa terasa kami pun sampai di depan ruang kelas. “Hari ini ada kajian di mushola sekolah, temanya tentang pergaulan bebas remaja” Lisa mengajakku dengan antusias. “Kamu bisa ikut atau tidak, Tia?” tanya Lisa pada ku. “Oh, kajian jam dua siang itu ya, emmm, ya insya Allah aku bisa ikut” aku menjawab sambil tersenyum dan berkata dalam hati, ini adalah kesempatanku untuk bisa lebih dekat dengan Lisa yang sangat aku kagumi. Lisa pun membalas tersenyum  padaku.
Hampir jam dua siang, matahari mulai enggan menyengat kulit. Aku menunggu Lisa sambil duduk di bawah pohon rindang taman Sekolah, yang di sisinya ada air mancur yang disertai kolam ikan badut. Suara gemericik air diiringi angin sepoy-sepoy yang membelai kerudungku dan ikan badut yang menari-nari, menemaniku menunggu kedatangan pemilik senyum yang bagai bunga merekah. Sosok yang ku tunggu mulai muncul dari kejauhan, berjalan dengan langkah berirama, dengan senyum yang sedikit malu-malu. Lisa kemudian sampai di hadapan ku dan berkata “ayo Tia, kita langsung ke mushola, teman-teman sudah berkumpul di sana.” Aku menyambut ajakan Lisa dengan bangkit dari tempat dudukku dan kemudian berjalan perlahan mengikuti langkahnya.
Sepatu-sepatu mulai mengisi ruang di kotak-kotak rak sepatu dekat mushola. Tidak begitu ramai di dalam mushola, hanya ada kira-kira lima belas orang perempuan. Aku dan Lisa menemukan tempat duduk yang nyaman dan Lisa mulai bertanya “Tadi kamu sholat zuhur di sini kan?” kemudian aku menjawab, “iya, tapi setelah itu aku langsung beranjak ke taman.” Lisa mengerutkan alis dan berkata “oh begitu, tapi tadi kita tidak bertemu, mungkin karena aku tidak melihat sekitar”  kemudian Lisa tertawa. Aku selalu melihatnya walau mungkin dia tak melihat ku, kemudian aku tersenyum. “kenapa?” tanya Lisa. “tidak apa-apa.” Jawabku sambil tersenyum.
Kajian berlangsung dengan peserta yang aktif mengajukan pertanyaan kepada pemateri yang juga adalah teman sebaya aku dan Lisa. Ternyata Lisa hanya sebentar duduk disamping ku, ternyata dia menjadi pembawa acara dalam kajian ini. Lisa tidak seperti kebanyakan teman sebayaku. Lisa terlihat sederhana dalam berpakaian, walau  banyak teman sebaya kami yang menjadi korban mode yang selalu berubah-ubah setiap tahun. Tutur katanya juga sopan, tidak seperti teman sebaya kami yang kebanyakan menggunakan bahasa gaul, bahkan kadang-kadang mereka tak mengerti makna kata yang mereka ucapkan. Hanya meniru trend. Kajian diakhiri dengan do’a bersama. Lisa begitu akrab menyapa peserta yang hadir, bersalam-salaman, saling memeluk dan menepuk punggung. Keakraban seperti apa yang aku lihat ini? Belum pernah aku mengalaminya.
Bersama dengan peserta yang lain aku dan Lisa menuju ke luar mushola dan mengambil sepatu lalu memakainya. Setelah sepatu kami terpasang rapi, kami berjalan sambil berbincang. “Tia, bagaimana menurut kamu kajian hari ini?” tanya Lisa. “Menarik, aku baru mengetahui kalau pacaran itu dilarang agama, untung saja aku tak pernah menerima cinta para lelaki yang menyatakan perasaannya pada ku” jawabku sambil tertawa. “kamu bisa saja”, balas Lisa sambil menepuk bahuku. “Kamu pulang naik apa Lisa?” tanyaku. “aku naik angkot, mungkin bersama mereka, sendiri pun tidak apa lah, aku kan sudah tidak mengompol” jawab Lisa sambil tersenyum. Aku bingung, “Apa hubungannya pulang sendiri dan mengompol?” tanyaku. Lagi-lagi Lisa tertawa menanggapi ku sehingga membuat ku tersenyum.
Hari kemarin diwarnai tawa bersama Lisa. Pagi ini aku mengayuh sepeda dengan suasana berbeda. Udara terasa sejuk, semua yang ku lihat bagai bunga-bunga bermekaran. Aku datang dengan warna baru, warna pemilik senyum yang bagai bunga mekar itu. Hari ini pelajaran olah raga, aku dan teman-teman bersiap beranjak ke lapangan Sekolah untuk bermain bola voli. Aku satu kelompok dengan Lisa, kami terlihat kompak dalam permainan ini dan berkali-kali mencetak angka. Tapi tiba-tiba, salah seorang teman dari kelompok kami hidungnya terkena lemparan bola voli, darah segar keluar dari hidungnya. Lisa sigap menolongnya dan membawanya ke Unit Kesehatan Sekolah. Aku pun bergegas ikut mengantarnya.
Siang ini Lisa terlihat berbeda setelah kejadian tadi, dia terlihat mencemaskan teman kami itu. Ketika pulang pun dia tergesa-gesa, berusaha membantu teman kami itu pulang ke rumah. Bahkan dia tak sempat menyapaku. Hari ini terasa sepi, bunga tak semerbak mewangi seperti akan layu. Aku baru saja menikmati satu hari tertawa bersama Lisa, apakah secepat ini berakhir? Apakah aku akan kembali tenggelam dalam kesunyian?
Hari kemarin berlalu, tak ada senyum itu. Hari ini aku kembali meniti setiap senti taman Sekolah, dan melihat bunga mekar itu dari kejauhan. Lisa kembali bersama teman-temannya dan tersisa aku yang kembali membisu dalam keramaian. “Tia” suara itu memecah keheninganku, Lisa menghampiriku. “Tia, aku dan yang lain sedang membahas mengenai tema untuk kajian di mushola minggu depan” Lisa langsung menarikku untuk bergabung bersama mereka. Pembahasan tema begitu menarik, aku mulai mengenal diri mereka satu-persatu. Aku pun ikut mengemukakan pendapatku. Pembahasan tema diselingi tawa, ternyata mereka begitu ramah. Tak kusangka hari ini aku bersama bunga mekar dan dedaunan yang selama ini kulihat dari kejauhan. Begitu indah.
Hari-hari berlalu, aku semakin dekat dengan Lisa. Membonceng Lisa dengan sepedaku sampai ke jalan angkutan umum. Berbagi cerita, makan bersama, bahkan aku pernah berkunjung ke rumah Lisa. Keluarganya pun begitu baik padaku. Aku semakin menyukai Lisa, aku rasa dia adalah sahabat yang baik dan aku rasa dia merasakan hal yang sama. Dua tahun kesunyianku dengan Lisa, kini berubah menjadi layaknya saudara yang akrab. Kami pun kini saling mengetahui bagaimana perasaan kami, ketika dulu belum saling menyapa. Ternyata Lisa sejak dulu ingin mengenalku lebih dekat. Lisa mengira aku yang sengaja menghindar darinya. Ya, aku memang menghindar kala itu, karena aku tidak terlalu percaya diri untuk menghampiri Lisa yang selalu dihampiri banyak teman.
Lisa sering mengajakku bergabung dengan teman-temannya, hingga sekarang aku menjadi anggota kajian rutin di mushola Sekolah kami. Aku mulai merasakan kedekatan yang dulu belum pernah kurasakan. Aku bersalaman dan berpelukan sambil menepuk punggung. Bersama mengajak teman-teman untuk ikut kajian di mushola dengan anggota dan pengurus kajian rutin. Ya, aku merasakannya. Merasakan indahnya kebersamaan.
Semakin lama aku mengenal Lisa, aku semakin menyayanginya. Dulu aku terlalu mengagumi dan ingin bersamanya. Sehingga aku menatap tak suka jika Lisa bersama teman-temannya. Padahal sikapku yang seperti itu justru yang menjauhkanku dari Lisa. Aku telah menyiakan dua tahun dengan kesunyian. Tapi aku tak menyesal. Aku telah belajar banyak hal. Sahabat itu bagai langit yang menaungi banyak makhluk. Langit tidak pernah menutup ruang untuk menaungi yang lain, meski itu sesuatu yang baru sekali pun. Seperti Lisa yang meski memiliki banyak teman, dia tak pernah menutup ruang untuk menerimaku sebagai sahabatnya.


 Putri Blume  



Cerita: Fiksi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar