Selasa, 09 September 2014

Pergilah (cerpen)



Pergilah

Bunga-Bunga bermekaran seperti melukiskan suasana hatinya. Seorang perempuan dengan kerudung hijau berhasil mendentum hatinya. Di hari pertamanya diangkat menjadi penjaga kasir sebuah toko buku, lelaki penjaga kasir itu menerima buku yang disodorkan oleh perempuan berkerudung hijau. Dia seketika hanya tertunduk malu, enggan menatap. Pandangan pertama adalah rezeki tetapi tidak untuk yang kedua. Jari-jarinya bergetar ketika membungkus buku itu dan menyodorkannya kembali pada perempuan berkerudung hijau. Entah perempuan itu menyadari atau tidak.

Lelaki itu berwajah lumayan tampan dengan tubuh tinggi semampai dan kulit hitam manis. Sebelumnya dia hanya bertugas merapikan buku-buku yang baru di antar, memindahkannya dari kardus ke rak buku. Pernah beberapa kali dia dan perempuan itu berpapasan, salah satunya ketika Dia sedang kerepotan mengangkat tumpukan buku, perempuan itu hendak berjalan melewatinya namun salah satu buku dari tumpukan buku yang ia bawa terjatuh dan membuatnya harus merunduk perlahan meletakan tumpukan buku yang lain kemudian mengambil buku yang jatuh. Perempuan itu pun seketika berlalu. Pertemuan yang tak pernah disadari oleh keduanya.

“Wah, Gilang hari ini sudah naik pangkat ya, kapan naik pelaminannya?” ujar Bilal rekan kerja sekaligus sahabatnya. 

“Kamu bisa saja Bilal” ujar Gilang sambil menepuk bahu Bilal. 

“Ngomong-ngomong kamu tau tidak perempuan yang barusan memakai kerudung hijau, dia anak siapa ya?” tanya Gilang.

“Wah-wah.. nampaknya kamu sudah punya calon untuk dilamar ya. Dia anak Pak Karta pemilik perkebunan singkong yang lahannya berhektar-hektar di kampung sebelah” jawab Bilal sambil tersenyum.

Telah lama dia mempersiapkan diri untuk menjadi imam bagi keluarga yang kelak dibinanya. Seminggu setelah peristiwa di kasir, Gilang memantapkan diri untuk bertemu dengan Pak Karta bersama dengan kakak perempuannya yang sudah terlebih dahulu menikah. Mereka datang membawa bingkisan berisi buah manga arum manis. Mereka disambut dengan baik oleh Pak Karta dan Keluarganya. Perempuan berkerudung hijau itu bernama Laras. Gilang mengutarakan maksud kedatangannya dengan bahasa yang sangat santun. Meskipun Gilang hanya tamat SMA, dia adalah seorang yang berilmu. Ilmu yang didapat melalui banyak membaca dan rutin mengikuti pengajian.

“Ya tidak bisa Pak, Laras harus kita jodohkan dengan yang sepadan” bisik sang istri pada Pak Karta yang terdengar oleh Gilang dan kakaknya. 

Pak Karta mengangguk dan merangkai kata agar Gilang mengurungkan niat untuk melamar Laras dengan alasan Laras harus melanjutkan kuliahnya dulu. Gilang diam sejenak. Pertemuan itu berakhir dingin, mereka pulang diantar dengan senyum hampa.

Selama pertemuan itu, Laras berada di kamarnya yang tak jauh dari ruangan di mana mereka berbincang. Awalnya Laras merasa  sangat terkejut dan bahagia, ternyata dentuman itu bukan hanya dirasakan oleh Gilang. Tetapi rasanya kebahagiaan itu lenyap seketika.

“Cuma penjaga kasir mau lamar anak kita Pak, ya tidak bisa lah Pak, tidak cocok” ujar istri Pak Karta yang merupakan ibu kandung Laras.

“Iya-iya, Bapak tau Bu” jawab Pak Karta.

Percakapan itu menyayat-nyayat hati Laras, membuat air matanya tumpah. Bantal basahnya menjadi saksi.
Seminggu kemudian Laras menemui kakak perempuan Gilang. Mereka berbincang selama sekitar tiga puluh menit. Kemudian Laras berpamitan pulang.

Di teras rumah sambil diiringi riuhnya suara jangkrik di malam hari, kakak perempuan Gilang memulai percakapan. “Gilang, apa kamu tak ingin mencoba untuk bicara lagi dengan orang tua Laras? Barangkali mereka akan berubah pikiran.”

“Gilang juga berencana begitu kak” jawabnya.

Gilang pun kembali menemui orang tua Laras dan mendapat jawaban yang sama. Orang tua Laras bahkan tak pernah menanyakan tentang bagaimana pendapat Laras atas lamaran yang Gilang ajukan. Tapi Gilang memiliki keinginan yang kuat untuk melamar Laras. Dia berjanji bahwa usahanya itu bukan yang terakhir. Laras hanya bisa menatap dari kejauhan. 

Pernah sekali waktu Laras dipergoki ibunya sedang menangis.
“Mengapa kamu menangis? Kamu suka dengan pemuda itu?” tanya ibunya.

Laras memberanikan diri untuk mengangguk.

“Laras… Bapak dan Ibu sudah menyiapkan seorang yang pantas untuk kamu. Dia bukan si Gilang itu” ujar ibunya.

Sebulan kemudian Gilang datang dengan maksud yang sama dan mendapat jawaban yang sama. Keluarga Laras mulai merasa Laras harus segera dinikahkan agar Gilang tak mengulang tindakannya. Pelan-pelan ibunya menyampaikan kepada Laras mengenai calon suaminya, seorang lelaki mapan yang usianya hampir menginjak empat puluh tahun pilihan orang tua Laras.

“Bu, Laras tidak bisa,” ujar Laras.

“Kenapa? Karena kamu menyukai Gilang? Kalau dia berani datang ke sini lagi, ibu akan usir dia !” ujar ibunya.

“Bu, Laras belum ingin menikah dengan siapapun untuk saat ini. Laras ingin fokus kuliah dulu” ujar Laras.

Walaupun demikian, keluarga Laras malah mengundang lelaki pilihan mereka untuk berkenalan dengan Laras. Tetapi Laras tak menampakan batang hidungnya sama sekali, ia hanya mengunci diri di dalam kamar. Melihat tingkah Laras demikian, Pak Karta dan istrinya mulai geram, ia khawatir perasaan Laras pada Gilang semakin dalam.

Laras kembali menemui kakak perempuan Gilang. Ia menyampaikan padanya agar Gilang menghentikan usahanya dan  menikahlah dengan perempuan lain karena Laras tidak bisa menerimanya. Tak lama waktu berselang, Laras memutuskan untuk tinggal bersama bibinya yang tinggal tidak jauh dari kampusnya.
Gilang menerima keputusan Laras dengan lapang dada. Ia merasa telah mendapat jawaban dari pertanyaannya. Laras di ruang yang berbeda bersama bantal basahnya menyimpan alasan dari jawabannya untuk Gilang. Dia tak ingin menyakiti Gilang dengan sikap orang tuanya dan berharap Gilang bisa mendapatkan seorang istri yang baik dan mertua yang menyayanginya.


Putri Blume


Cerita: Fiksi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar