Sabtu, 27 Agustus 2016

Nyawa

Mereka hendak menggugurkan aku. Tangan terampil itu meremas-remas rahim ibuku. Hingga ibuku mengernyitkan dahi karena menahan sakit. Sungguh aku tak tega mengetahui rasa sakitnya. Tapi nampaknya tangan terampil dari perempuan tukang urut itu tak mampu mengoyak diriku. 

Kemudian di waktu yang berbeda ayahku datang membawa beberapa butir pil berwarna merah hati pada ibuku. Ia memintanya untuk meminum pil itu. Ayahku juga ingin menggugurkan aku. Entah apa yang mereka pikirkan tentang aku, padahal aku adalah keturunan mereka berdua dari hubungan pernikahan yang sah secara agama, dan pemerintah. Tapi nyatanya pil itu juga tak mampu meracuni aku.

Meskipun ibu merasakan sakit atas usaha-usaha itu, ternyata dia juga mengiginkan kepergianku. Ibu pergi ke seorang dokter lalu memintanya menggugurkan aku. Haruskah aku menangis, dan menyerah dengan semua ini? 

Atas izin Allah segala usaha-usaha itu tak mampu melenyapkanku, dokter itu pun tak mau membantu orang tuaku untuk melakukannya. Aku tumbuh menjadi bayi yang sehat, gemuk, dan membuat tubuh ibuku menjadi gemuk pula.  Aku bertanya-tanya, seperti apakah dunia di luar sana? Apakah dunia itu indah? Atau mengerikan? Mengapa ayah, dan ibuku tak menginginkan aku melihat dunia? 

Bulan demi bulan berlalu, kini tiba di bulan ke sembilan. Perut ibuku mulai mengalami kontraksi, rasanya aku tak sabar ingin keluar, dan dipeluk ibu. Keluargaku segera membawa ibuku kepada seorang bidan. Tapi mengapa rasanya sulit sekali untuk keluar dari perut ibu? Sampai kapan ibu harus menahan sakit? Semua orang menjadi cemas dengan keadaanku, dan ibu. Mereka bergegas membawa kami ke rumah sakit agar mendapatkan pertolongan dokter.

Waktu menjelang subuh, mobil ambulan segera melaju. Ibuku merintih kesakitan ditemani abangku yang sangat cemas di sampingnya. Bibirnya merintih sambil mengucap istighfar berulang kali, sakitnya sungguh tak tertahankan hingga ibu berpikir nyawanya telah diujung tanduk. Abangku berurai air mata sambil menyebut-nyebut ibu. Aku tahu bahwa ia tak ingin kehilangan ibu. Sungguh aku tak ingin melukai ibu karena ini.

Setibanya di rumah sakit, suster dan bidan yang mengantar kami segera memindahkan ibu ke kamar operasi, tak hentinya ibu merintih menahan sakit. Tubuh ibu pun semakin melemas, keringatnya menjadi dingin. Oh, Allah.. aku tak ingin melukai ibu, atau membuatnya pergi meninggalkan abang, dan ayah. Ke mana dokter bedahnya? Mengapa belum datang juga?

Aku mencoba terus mendorong ke luar, aku harus berjuang untuk ibu. Lalu dalam keadaan mataku yang terpejam, hidungku mulai mencium aroma yang berbeda. Aku mulai mendengar suara keramaian dengan gema yang berbeda pula. “Awwww!” siapa yang berani-beraninya menepok pantatku? Itu bagian pribadiku, sungguh malu sekali rasanya. Aku pun menangis kencang. 

Dokter bedah itu sedang sholat subuh. Aku lahir ke dunia dengan dibantu bidan, dan suster. Alhamdulillah aku lahir secara normal, ibuku pun selamat meskipun tubuhnya menjadi sangat lemas. Oh.. inikah aroma dari dunia? Mataku belum bisa melihat apapun, nanti akan ada waktunya aku melihat wajah ibu insya Allah.

Mereka semua sangat menyayangiku, ayah, ibu, dan abang. Banyak yang bilang aku ini lelaki yang sangat menggemaskan, kebanyakan yang mengatakan itu adalah perempuan. Aku menjadi sangat populer di kalangan mereka, wah.. bahagianya. Kemudian, tahukah kau? Ternyata wajah ibuku begitu cantik. Ia perempuan pertama yang kulihat saat pertama kalinya mataku berfungsi.

Hari-hari berjalan begitu menyenangkan, aku tumbuh menjadi anak lelaki yang sehat dan aktif,  masa lalu pun telah kulupakan. Orang tuaku selalu memberi apa yang aku butuhkan, dan tak jarang apa yang aku inginkan pun dipenuhi. Mereka bilang kelahiranku membawa rezeki bagi keluarga kami. Ketika aku jatuh sakit, ibuku merawatku dengan sabar. Satu kata yang aku ingin ucapkan untuk ibu “indah.”

Di suatu malam, saat aku bermain dengan abangku di kamar kami. Ku dengar ayah, dan ibu bertengkar. Entah apa yang mereka perdebatkan, aku segera bergegas menuju kamar orang tuaku dengan kaki mungilku. Ku lihat di sana ibu menangis, tangan kekar ayah memukul wajah ibu tepat mengenai hidungnya. Oh, perempuan terindah dalam hidupku menangis karenanya. Aku menangis sejadi-jadinya, apa yang bisa aku lakukan, aku hanya bocah yang usianya bahkan belum mencapai lima tahun.

Aku melihat handphone ayahku tergeletak di lantai. Ada wajah ayah, dan seorang perempuan yang tak kukenal di layar itu. Ibuku mengemas pakaiaannya ke dalam koper dengan bercucuran air mata. Kemudian ibu menuruni tangga menuju ke luar rumah dengan tergesa-gesa. Aku akan ikut ke manapun ibu pergi, takkan kulepas tangan ibu.

Abangku, remaja tanggung itu terduduk kaku di kamarnya, seperti trauma akan sesuatu. Tatapan matanya begitu hancur, luka itu nampak sangat menganga. Tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Ia tidak mencegahku, dan ibu pergi, benar-benar tak beranjak sedikitpun. Apa yang terjadi sebelumnya padamu abang?

Kini Nampak memar di wajah cantik ibu. Aku, dan ibu datang ke rumah kerabat kami. Sambil menangis ibu menceritakan padanya apa yang telah terjadi, ia nampak iba melihat kami, ia mengelus pundak ibu lalu memeluknya. Kerabat kami itu seorang perempuan, dan memiliki dua orang cucu perempuan yang usianya hampir sama denganku.

Aku bermain, dan tertawa bersama kedua cucunya itu. Mungkin orang mengira anak kecil seperti diriku ini tak merasakan luka ketika hal seperti ini terjadi, karena aku masih bisa bermain, dan tertawa bersama teman-temanku. Tapi siapa yang tahu hati manusia? Anak kecil juga manusia kan. 

Katanya, orang tuaku akan berpisah, bercerai namanya. Apa yang terjadi jika mereka berdua berpisah? Apakah aku takan bertemu ayah lagi? Bagaimana dengan abangku? Oh, Allah.. Inikah dunia? Ada kebahagiaan, kesedihan, dan perpisahan? 








Tidak ada komentar:

Posting Komentar