Pergilah
Bunga-Bunga
bermekaran seperti melukiskan suasana hatinya. Seorang perempuan dengan kerudung
hijau berhasil mendentum hatinya. Di hari pertamanya diangkat menjadi penjaga kasir
sebuah toko buku, lelaki penjaga kasir itu menerima buku yang disodorkan oleh perempuan
berkerudung hijau. Dia seketika hanya tertunduk malu, enggan menatap. Pandangan
pertama adalah rezeki tetapi tidak untuk yang kedua. Jari-jarinya bergetar ketika
membungkus buku itu dan menyodorkannya kembali pada perempuan berkerudung hijau.
Entah perempuan itu menyadari atau tidak.
Lelaki
itu berwajah lumayan tampan dengan tubuh tinggi semampai dan kulit hitam manis.
Sebelumnya dia hanya bertugas merapikan buku-buku yang baru di antar,
memindahkannya dari kardus ke rak buku. Pernah beberapa kali dia dan perempuan
itu berpapasan, salah satunya ketika Dia sedang kerepotan mengangkat tumpukan buku,
perempuan itu hendak berjalan melewatinya namun salah satu buku dari tumpukan
buku yang ia bawa terjatuh dan membuatnya harus merunduk perlahan meletakan
tumpukan buku yang lain kemudian mengambil buku yang jatuh. Perempuan itu pun
seketika berlalu. Pertemuan yang tak pernah disadari oleh keduanya.
“Wah,
Gilang hari ini sudah naik pangkat ya, kapan naik pelaminannya?” ujar Bilal
rekan kerja sekaligus sahabatnya.
“Kamu
bisa saja Bilal” ujar Gilang sambil menepuk bahu Bilal.
“Ngomong-ngomong
kamu tau tidak perempuan yang barusan memakai kerudung hijau, dia anak siapa
ya?” tanya Gilang.
“Wah-wah..
nampaknya kamu sudah punya calon untuk dilamar ya. Dia anak Pak Karta pemilik
perkebunan singkong yang lahannya berhektar-hektar di kampung sebelah” jawab
Bilal sambil tersenyum.
Telah
lama dia mempersiapkan diri untuk menjadi imam bagi keluarga yang kelak dibinanya.
Seminggu setelah peristiwa di kasir, Gilang memantapkan diri untuk bertemu
dengan Pak Karta bersama dengan kakak perempuannya yang sudah terlebih dahulu
menikah. Mereka datang membawa bingkisan berisi buah manga arum manis. Mereka
disambut dengan baik oleh Pak Karta dan Keluarganya. Perempuan berkerudung
hijau itu bernama Laras. Gilang mengutarakan maksud kedatangannya dengan bahasa
yang sangat santun. Meskipun Gilang hanya tamat SMA, dia adalah seorang yang
berilmu. Ilmu yang didapat melalui banyak membaca dan rutin mengikuti pengajian.
“Ya
tidak bisa Pak, Laras harus kita jodohkan dengan yang sepadan” bisik sang istri
pada Pak Karta yang terdengar oleh Gilang dan kakaknya.
Pak
Karta mengangguk dan merangkai kata agar Gilang mengurungkan niat untuk melamar
Laras dengan alasan Laras harus melanjutkan kuliahnya dulu. Gilang diam
sejenak. Pertemuan itu berakhir dingin, mereka pulang diantar dengan senyum
hampa.
Selama
pertemuan itu, Laras berada di kamarnya yang tak jauh dari ruangan di mana
mereka berbincang. Awalnya Laras merasa sangat terkejut dan bahagia, ternyata dentuman
itu bukan hanya dirasakan oleh Gilang. Tetapi rasanya kebahagiaan itu lenyap
seketika.
“Cuma
penjaga kasir mau lamar anak kita Pak, ya tidak bisa lah Pak, tidak cocok” ujar
istri Pak Karta yang merupakan ibu kandung Laras.
“Iya-iya,
Bapak tau Bu” jawab Pak Karta.
Percakapan
itu menyayat-nyayat hati Laras, membuat air matanya tumpah. Bantal basahnya
menjadi saksi.
Seminggu
kemudian Laras menemui kakak perempuan Gilang. Mereka berbincang selama sekitar
tiga puluh menit. Kemudian Laras berpamitan pulang.
Di
teras rumah sambil diiringi riuhnya suara jangkrik di malam hari, kakak perempuan
Gilang memulai percakapan. “Gilang, apa kamu tak ingin mencoba untuk bicara
lagi dengan orang tua Laras? Barangkali mereka akan berubah pikiran.”
“Gilang
juga berencana begitu kak” jawabnya.
Gilang
pun kembali menemui orang tua Laras dan mendapat jawaban yang sama. Orang tua
Laras bahkan tak pernah menanyakan tentang bagaimana pendapat Laras atas
lamaran yang Gilang ajukan. Tapi Gilang memiliki keinginan yang kuat untuk
melamar Laras. Dia berjanji bahwa usahanya itu bukan yang terakhir. Laras hanya
bisa menatap dari kejauhan.
Pernah
sekali waktu Laras dipergoki ibunya sedang menangis.
“Mengapa
kamu menangis? Kamu suka dengan pemuda itu?” tanya ibunya.
Laras
memberanikan diri untuk mengangguk.
“Laras…
Bapak dan Ibu sudah menyiapkan seorang yang pantas untuk kamu. Dia bukan si
Gilang itu” ujar ibunya.
Sebulan
kemudian Gilang datang dengan maksud yang sama dan mendapat jawaban yang sama.
Keluarga Laras mulai merasa Laras harus segera dinikahkan agar Gilang tak
mengulang tindakannya. Pelan-pelan ibunya menyampaikan kepada Laras mengenai
calon suaminya, seorang lelaki mapan yang usianya hampir menginjak empat puluh tahun
pilihan orang tua Laras.
“Bu,
Laras tidak bisa,” ujar Laras.
“Kenapa?
Karena kamu menyukai Gilang? Kalau dia berani datang ke sini lagi, ibu akan
usir dia !” ujar ibunya.
“Bu,
Laras belum ingin menikah dengan siapapun untuk saat ini. Laras ingin fokus
kuliah dulu” ujar Laras.
Walaupun
demikian, keluarga Laras malah mengundang lelaki pilihan mereka untuk
berkenalan dengan Laras. Tetapi Laras tak menampakan batang hidungnya sama
sekali, ia hanya mengunci diri di dalam kamar. Melihat tingkah Laras demikian,
Pak Karta dan istrinya mulai geram, ia khawatir perasaan Laras pada Gilang
semakin dalam.
Laras
kembali menemui kakak perempuan Gilang. Ia menyampaikan padanya agar Gilang
menghentikan usahanya dan menikahlah
dengan perempuan lain karena Laras tidak bisa menerimanya. Tak lama waktu
berselang, Laras memutuskan untuk tinggal bersama bibinya yang tinggal tidak
jauh dari kampusnya.
Gilang
menerima keputusan Laras dengan lapang dada. Ia merasa telah mendapat jawaban
dari pertanyaannya. Laras di ruang yang berbeda bersama bantal basahnya
menyimpan alasan dari jawabannya untuk Gilang. Dia tak ingin menyakiti Gilang
dengan sikap orang tuanya dan berharap Gilang bisa mendapatkan seorang istri
yang baik dan mertua yang menyayanginya.
Putri Blume
Cerita: Fiksi